Kamis, 16 Agustus 2012

Yogyakarta Peringkat 17 dari 33 Provinsi Dalam IDI


1343619194432283776

Dok.Pribadi. Workshop IDI.Yogyakarta
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 12 Juli 2012, saya mengikuti workshop IDI, saya sendiri awalnya agak heran dengan istilah IDI yang ternyata bukan Ikatan Dokter Indonesia, tapi Indeks Demokrasi Indonesia. Workshop diadakan di Hotel Ros-In dan diselenggarakan oleh Bappeda Provinsi DIY.


Pembicara Utama dalam workshop tersebut dari Kementerian Dalam Negeri mengenai refleksi hasil IDI dari Direktorat jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri yang diwakili oleh Bp.Syabnikmat, dari Bapenas dan Pak Wiem dari BPS DIY, serta tentu dari Bappeda provinsi DIY Bp Tavip Agus Rayanto sambil membuka acara.

Menurut Pak Tavip, berdasar Hasil IDI tahun 2010 Provinsi DIY menduduki peringkat ke-17 dari 33 provinsi. Termasuk kategori medium tambahnya, artinya tidak bagus tapi juga tidak jelek. Selanjutnya dijelaskan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)adalah angka-angka yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan beberapa aspek tertentu dari demokrasi. Dalam hal ini ada 3 aspeks yang dinilai yaitu Kebebasan Sipil (Civil Liberties), Hak-Hak Politik(Political Rights), dan Lembaga-lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).

Kebebasan sipil , Pada kontek IDI, kebebasan sipil dibatasi hanya pada kebebasan individu dan kelompok yang berkaitan erat dengan kekuasaan negara dan atau kelompok masyarakat tertentu, dengan Variabel kebebasan sipil sebagai berikut :1) Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, 2)Kebebasan Berpendapat, 3) Kebebasan Berkeyakinan, 4) Kebebasan dari Diskriminasi

Untuk Hak Hak Politik Variabel yang dipakai adalah: 1). Hak Memilih dan Dipilih , dan 2) Partisipasi Politik dalam Pengambilan Keputusan dan Pengawasan.

Sedangkan untuk Lembaga Demokrasi beberapa variabel sebagai berikut : 1) Pemilihan Umum (Pemilu) yang Bebas dan Adil, 2) Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), 3) Peran Partai Politik. 4) Peran Birokrasi Pemerintahan Daerah. Dan 5) Peradilan yang Independen

Pak Tavip juga menyampaikan semacam pertanyaan kepada Tim pembuat IDI yang mengatakan bahwa apakah karena Yogyakarta menghendaki penetapan Gubernur sehingga dinilai dalam IDI menjadi cenderung rendah?

Dalam kesempatan berikutnya Ibu nara Sumber dari Bappenas menjelaskan bahwa Yogyakarta IDI-nya menurun karena ada beberapa Demo yang berujung pada kekerasan, dimana sebelumya tidak pernah ada.

Secara umum saya menilai konsep IDI sebetulnya sangat bagus dan bermanfaat bagi lembaga-lembaga atau instansi pemerintah lainnya untuk menyesuaikan program dengan cara melihat data IDI dan bagaimana data tersebut digunakan untuk merancang program dan memperbaiki kinerja, out put dan bahkan out come program.

Sayang bicara angka-angka memang tidak menarik, sekalipun angka-angka itu sangat penting. Dari 40-an peserta yang diundangadalam acara workshop tersebut, setelah siang ternyata peserta tinggal separonya. Ya sudahlah inilah potret masyarakat kita.

Sementara itu Bapak Nara Sumber dari Kementerian Dalam Negeri yang menjelaskan tentang UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif menurutku justru sering memberikan informasi secara tidak pas atau kurang tepat. Beberapa hal yang menurutku kurang pas adalah antara lain pernyataan beliau tentang Kinerja KPU, yang menurutnya sampai pada saat ini belum menunjukkan kerja yang progresif dan optimal, karena sampai saat ini belum ada satupun peraturan atau keputusan yang lahir sejak dilantik. Statement tersebut tentu tidak benar karena KPU sebetulnya pada tanggal 8 Juni sudah mengeluarkan produk keputusan yang sangat pentingyaitu Keputusan KPU No 111 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan suara, dimana dalam keputusan ini dijelaskan bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 hari Rabu.

Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa dalam Undang-undang yang baru ini akan ada fasilitasi untuk pemilih khusus, yaitu para pemilih yang tidak mempunyai KTP. Menurutnya pemilih khusus ini nantinya akan di daftar dalam Daftar Pemilih Tambahan. Artinya beliau mengkategorikan pemilih khusus ini sama dengan pemilih tambahan padahal itu beda. Dalam Undang undang dijelaskan bahwa pemilih tambahan adalah pemilih yang mau pindah memilih di tempat lain dan harus ber identitas (liat pasal 40 ayat 2), sedangkan pemilih khusus adalah pemilih yang tidak punya identitas (pasal 40 ayat 5). Maaf lho pak ….ini terpaksa harus saya luruskan supaya masyarakat tidak bias.

Sementara Pak Wiem dari BPS sering megeluhkan sulitya menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) karena peserta yang diundang sering mewakilkan atau tidak datang sehingga problem yang sudah diberitakan di koran dan sudah dikliping sering tidak terkonfirmasi oleh nara sumber yang tepat….waah.(spd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.