Di akhir bulan puasa ini saya menjalankan tugas untuk melakukan perjalanan ke Jakarta pulang pergi dalam sehari. Dalam ajaran tentang puasa, kita sebetulnya diberi keringanan jika melakukan perjalanan, atau boleh tidak berpuasa, termasuk juga bagi orang yang sedang sakit. Namun demikian karena puasa hukumnya wajib, maka ia harus mengganti puasa di waktu lain. Sekalipun diberi kemudahan, namun saya tetap jalankan puasa. Saya pikir perjalanan saya kali ini, sakalipun jauuuh…..cukup mudah dan tidak banyak mengeluarkan energi, ini karena kemajuan teknologi yang sudah sangat pesat. Jogja- Jakarta pp dengan pesawat dan naik taxi saya rasakan tidak beda melakukan perjalanan atau tidak, jadi tetap enjoy saja berpuasa.
Bertemu dengan Sopir Taxi Pak Haryanto (nama disamarkan). Saya tahu nama itu dari ID Card sopir taxi tersebut yang dipasang di atas Dashbord sesuai dengan prosedur pelayanan. Kemudian saya bertanya dan terjadilah dialog :
Saya : Pak haryanto asli mana pak?
Sopir taxi : Balapan mas, Solo Balapan.
Saya : Solo apa Surakarta pak? atau apa bedanya?
Sopir taxi : Solo itu ya Surakarta pak, sama saja, itukan hanya alias saja.
Saya : oohh.
Saya : kalau begitu Pilkada kemarin bapak pilih JOKOWI ya pak?
Sopir taxi : oya tentu, saya ini orang pendatang jadi ya milih Jokowi, semua pendatang di Jakarta ini pilih Jokowi pak, sedangkan orang keturunan China pilih Ahok. Hanya keturunan asli Jakarta saja yang pilih Foke.
Saya : kalau begitu putaran kedua siapa yang menang pak?
Sopir taxi : oya tentu, Jokowi masih tetap akan menang.
Saya : Kalau partai, bapak pilih apa?
Sopir taxi : Kalau partai saya belum pak, sejak dulu saya tidak berpartai. Yah ikut-ikutan saja.
Saya : maksud bapak ikut ikutan?
Spor taxi : ya gitu, mana yang banyak diikuti atau dibicarakan orang saja, ya sudah saya kesana.
Menurutku Pak haryanto sebagai sopir taxi sangat cerdik dan sangat melek politik. inilah sebetulnya contoh konkrit dari teori masa mengambang yang akan diperebutkan oleh banyak sekali partai politik atau para pasangan calon dalam pemilu.
Saya jadi teringat beberapa angka hasil penelitian dari LSI misalnya, tentang bursa calon presiden yang akan datang dalam pemilu 2014. sebanyak 60 persen masyarakat belum menjatuhkan pilihan. Sementara itu suara dukungan kepada Prabowo mencapai 10,6 persen, Megawati mencapai 8 persen, Aburizal mencapai 4,4 persen, Ani Yudhyono mencapai 4,3 persen, JK mencapai 3, 7 persen.
Sementara itu, tingkat elektabilitas Surya Paloh mencapai 1,4 persen, Wiranto mencapai 1,1 persen, Sultan Hamengku Buwono mencapai 0,9 persen, Dahlan Iskan mencapai 0,9 persen dan Hatta Rajasa mencapai 0,7 persen.
Orang Seperti Pak Haryanto itu Jumlahnya banyak, ia adalah kategori swing voters atau masa mengambang. Karakteristik dari massa mengambang ini adalah rasional dan sensitif terhadap kinerja dan perilaku calon. Mereka mudah menjatuhkan hukuman kepada peserta pemilu yang mengecewakan dengan cara tidak memilih mereka kembali. Dan jumlahnya ya 60 % itu. Peta politik masih akan mudah berubah. Ada rasa pesimis akan hadir pemimpin yang seperti yang diharapkan sebetulnya. Tapi politik ya politik, yang berlaku adalah asas mayoritas, asas ini tidak pernah bicara soal kualitas, yang dipilih paling banyak itulah yang jadi pemimpin kita.., berdoa saja semoga ada perbaikan,…hhmm (Spd).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.