Selasa, 03 Juli 2012

Pemilu 2014, Ada Yang Baru?

Pemilu 2014, Eksperimen Demokrasi, Baru Tapi Lama

Oleh: Sapardiyono.S.Hut.MH.




UU No 8 tahun 2012 telah lahir, undang-undang ini mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Perdebatan panjang antar partai di DPR bahkan sempat deadlock mewarnai risalah lahirnya undang-undang ini. Beberapa perdebatan yang sebelumnya sempat alot adalah mengenai besaran parlementary threshold, jumlah kursi setiap dapil, sistem pemilu dengan proporsional terbuka atau tertutup, dan metode pemberian suara. Sayang perdebatan panjang tersebut berakhir seolah anti klimak, karena ternyata Undang-undang ini tidak banyak merubah dari undang-undang sebelumnya. Sangat sedikit hal-hal yang secara prinsip diubah dalam undang undang ini.

Beberapa perubahan dalam Undang-undang ini.

Sekalipun tidak banyak mengalami perubahan beberapa perubahan dapat dicatat sebagai berikut : pertama besaran Parlementary Threshold, sesuai dengan ketentuan pasal 208  besaran ambang batas adalah 3,5 %.  Kursi hanya diberikan pada parpol yang mencapai ambang batas 3,5 % secara nasional dari suara sah. Angka ini naik cukup signifikan karena pemilu sebelumnya angkanya sebesar 2,5 %. Perdebatan ini cukup alot karena setiap kenaikan akan mengancam keberadaan  parpol kecil di  parlemen. Parpol kecil berargumen tentang representasi dari keberagaman dan minoritas, sedangkan beberapa parpol besar berargumen tentang penyederhanaan parpol, efektifitas fungsi parlemen dan pendekatan sistem presidensiil.

Perubahaan besaran ambang batas ini juga mengancam nasib partai-partai di daerah, karena ambang batas 3,5 % juga akan digunakan dalam menghitung perolehan kursi untuk DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini dulu tidak digunakan dalam menghitung distribusi kursi di daerah, sehingga  komposisi anggota DPRD baik Provinsi maupun kabupaten/kota  masih terdapat  beberapa kursi yang diduduki oleh parpol  yang tidak punya kursi di DPR. Sebut saja PKPB dan PDK  untuk kasus di Yogyakarta. Kasus ini akan sangat ekstrem jika kita melihat beberapa  sebaran kursi di beberapa provinsi lain,  di NTT misalnya PDS  adalah salah satu parpol yang mayoritas, namun karena PDS tidak punya kursi di DPR maka keberadaannya di daerahpun terancam dalam pemilu yang akan datang.

Perbedaan kedua adalah ketatnya persyaratan pendaftaran parpol baru maupun parpol yang gagal mencapai ambang batas dalam pemilu 2009. Untuk mendaftar di KPU hrs mempunyai kepengurusan dan kantor tetap di setiap  provinsi (100%), 75 % kepengurusan dan kantor tetap di Kabupaten/Kota dan kepengurusan  di kecamatan 50%. Ketentuan yang lama 75 % di Provinsi dan 50 % di kabuaten/kota.  Sekalipun perubahan ini dinilai kurang mendasar, namun ketentuan ini dinilai tidak adil dan diskriminatif oleh banyak partai. Oleh karena itu mereka selanjutnya mengajukan gugatan ke MK untuk membatalkan pasal 8. Jika nantinya gugatan di MK dikabulkan maka harapan dari para anggota DPR yang menghendaki adanya sedikit parpol sebagai peserta pemilu dipastikan  akan kandas.

Perbedaan ketiga, untuk DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan kembali dihitung dan disusun ulang mengenai  alokasi kursi dan daerah pemilihan (dapil). Ketentuan pokok dalam menghitung dapil di pemilu nanti adalah menggunakan jumlah penduduk  terakhir yang diberikan oleh pemerintah kepada KPU dalam rangka tahapan pemilu ini, jumlah kursi antara 3-12 kursi, dapat memecah kabupaten untuk dapil DPRD Provinsi, dan dapat memecah Kecamatan untuk DPRD kabupaten/kota.

Ketentuan Baru Tapi Lama.

Pertama pada pemilu 2009 KPU berikut semua jajarannya sibuk mensosialisasikan metode pemberian suara yang mengalami perubahan dari mencoblos menjadi mencontreng. Perubahan ini dinilai mendasar karena praktek mencoblos sudah diterapkan sejak pemilu pertama kali yaitu tahun 1955, dimana kita seolah-olah akan naik kasta dari mencoblos yang merupakan simbol dari keterbelakangan, menjadi menulis yang merupakan simbol dari budaya inteketual. Namun oleh DPR metode mencontreng atau mencentang ini dinilai kurang berhasil dan justru menimbulkan banyak perdebatan yang kurang substantif dalam menentukan sah atau tidaknya surat suara yang sudah dicontreng. Oleh karenanya dalam pasal 154 disebutkan bahwa pemberian suara dalam pemilu yang akan datang dipastikan kembali dengan mencoblos.

Kedua, ketentuan lain yang baru tapi lama adalah diaktifkannya kembali rekapitulasi penghitungan suara di PPS (tingkat desa/kelurahan). Ketentuan ini dalam pemilu lalu tidak dilaksanakan tapi langsung ke PPK (kecamatan). Dahulu DPR membuat regulasi ini dilatarbelakangi oleh kecurigaan bahwa di PPS lah yang banyak ditemukan kecurangan dalam penghiungan suara. Namun akibat dari ketentuan ini menyebabkan kerja PPK overload dan susah menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu dan cermat. Oleh karenanya dalam pemilu yang akan datang ketentuan tentang rekapitulasi penghitungan suara di PPS kembali dihidupkan. Kebijakan ini tentu akan mempermudah kerja-kerja PKK sehingga PPK dapat bekerja lebih baik dan akurat. Sementara soal kecurigaan kecurangan di PPS diselesaikan dengan pengawasan oleh panitia pengawas lapangan yang ada di setiap desa/kelurahan dan tentu saja optimalisasi para saksi dari partai poilitik.


tulisan ini pernah di publish di :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.