Pemilu 2014, Eksperimen
Demokrasi, Baru Tapi Lama
Oleh: Sapardiyono.S.Hut.MH.
UU No 8 tahun 2012
telah lahir, undang-undang ini mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan
DPRD. Perdebatan panjang antar partai di DPR bahkan sempat deadlock mewarnai
risalah lahirnya undang-undang ini. Beberapa perdebatan yang sebelumnya sempat
alot adalah mengenai besaran parlementary
threshold, jumlah kursi setiap dapil, sistem pemilu dengan proporsional
terbuka atau tertutup, dan metode pemberian suara. Sayang perdebatan panjang tersebut
berakhir seolah anti klimak, karena ternyata Undang-undang ini tidak banyak
merubah dari undang-undang sebelumnya. Sangat sedikit hal-hal yang secara
prinsip diubah dalam undang undang ini.
Beberapa
perubahan dalam Undang-undang ini.
Sekalipun tidak
banyak mengalami perubahan beberapa perubahan dapat dicatat sebagai berikut : pertama besaran Parlementary Threshold, sesuai dengan ketentuan pasal 208 besaran ambang batas adalah 3,5 %. Kursi hanya diberikan pada parpol yang
mencapai ambang batas 3,5 % secara nasional dari suara sah. Angka ini naik
cukup signifikan karena pemilu sebelumnya angkanya sebesar 2,5 %. Perdebatan
ini cukup alot karena setiap kenaikan akan mengancam keberadaan parpol kecil di parlemen. Parpol kecil berargumen tentang
representasi dari keberagaman dan minoritas, sedangkan beberapa parpol besar
berargumen tentang penyederhanaan parpol, efektifitas fungsi parlemen dan
pendekatan sistem presidensiil.
Perubahaan besaran
ambang batas ini juga mengancam nasib partai-partai di daerah, karena ambang
batas 3,5 % juga akan digunakan dalam menghitung perolehan kursi untuk DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini dulu tidak digunakan dalam
menghitung distribusi kursi di daerah, sehingga
komposisi anggota DPRD baik Provinsi maupun kabupaten/kota masih terdapat beberapa kursi yang diduduki oleh parpol yang tidak punya kursi di DPR. Sebut saja
PKPB dan PDK untuk kasus di Yogyakarta.
Kasus ini akan sangat ekstrem jika kita melihat beberapa sebaran kursi di beberapa provinsi lain, di NTT misalnya PDS adalah salah satu parpol yang mayoritas,
namun karena PDS tidak punya kursi di DPR maka keberadaannya di daerahpun
terancam dalam pemilu yang akan datang.
Perbedaan kedua adalah ketatnya persyaratan pendaftaran
parpol baru maupun parpol yang gagal mencapai ambang batas dalam pemilu 2009.
Untuk mendaftar di KPU hrs mempunyai kepengurusan dan kantor tetap di setiap provinsi (100%), 75 % kepengurusan dan kantor
tetap di Kabupaten/Kota dan kepengurusan
di kecamatan 50%. Ketentuan yang lama 75 % di Provinsi dan 50 % di
kabuaten/kota. Sekalipun perubahan ini
dinilai kurang mendasar, namun ketentuan ini dinilai tidak adil dan
diskriminatif oleh banyak partai. Oleh karena itu mereka selanjutnya mengajukan
gugatan ke MK untuk membatalkan pasal 8. Jika nantinya gugatan di MK dikabulkan
maka harapan dari para anggota DPR yang menghendaki adanya sedikit parpol
sebagai peserta pemilu dipastikan akan
kandas.
Perbedaan ketiga,
untuk DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan kembali dihitung dan disusun ulang
mengenai alokasi kursi dan daerah
pemilihan (dapil). Ketentuan pokok dalam menghitung dapil di pemilu nanti adalah
menggunakan jumlah penduduk terakhir
yang diberikan oleh pemerintah kepada KPU dalam rangka tahapan pemilu ini, jumlah
kursi antara 3-12 kursi, dapat memecah kabupaten untuk dapil DPRD Provinsi, dan
dapat memecah Kecamatan untuk DPRD kabupaten/kota.
Ketentuan
Baru Tapi Lama.
Pertama pada pemilu 2009 KPU
berikut semua jajarannya sibuk mensosialisasikan metode pemberian suara yang
mengalami perubahan dari mencoblos menjadi mencontreng. Perubahan ini dinilai
mendasar karena praktek mencoblos sudah diterapkan sejak pemilu pertama kali
yaitu tahun 1955, dimana kita seolah-olah akan naik kasta dari mencoblos yang
merupakan simbol dari keterbelakangan, menjadi menulis yang merupakan simbol
dari budaya inteketual. Namun oleh DPR metode mencontreng atau mencentang ini
dinilai kurang berhasil dan justru menimbulkan banyak perdebatan yang kurang
substantif dalam menentukan sah atau tidaknya surat suara yang sudah
dicontreng. Oleh karenanya dalam pasal 154 disebutkan bahwa pemberian suara
dalam pemilu yang akan datang dipastikan kembali dengan mencoblos.
Kedua, ketentuan lain yang baru tapi lama adalah diaktifkannya kembali
rekapitulasi penghitungan suara di PPS (tingkat desa/kelurahan). Ketentuan ini
dalam pemilu lalu tidak dilaksanakan tapi langsung ke PPK (kecamatan). Dahulu
DPR membuat regulasi ini dilatarbelakangi oleh kecurigaan bahwa di PPS lah yang
banyak ditemukan kecurangan dalam penghiungan suara. Namun akibat dari
ketentuan ini menyebabkan kerja PPK overload
dan susah menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu dan cermat. Oleh karenanya
dalam pemilu yang akan datang ketentuan tentang rekapitulasi penghitungan suara
di PPS kembali dihidupkan. Kebijakan ini tentu akan mempermudah kerja-kerja PKK
sehingga PPK dapat bekerja lebih baik dan akurat. Sementara soal kecurigaan
kecurangan di PPS diselesaikan dengan pengawasan oleh panitia pengawas lapangan
yang ada di setiap desa/kelurahan dan tentu saja optimalisasi para saksi dari
partai poilitik.
tulisan ini pernah di publish di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.