Jumat, 25 Mei 2012

Mengarap “Perubahan” Pasca Pemilu 2009



Sekalipun masih cukup lama, hinggar-bingar penyelenggaraan pemilu 2009 sudah mulai ditabuh saat ini. Minimal ada 2 hal penting yang menyebabkan suasana ini terasa hangat, yaitu pertama: problem hukum yang berkaitan dengan mulai dibahasnya 4 paket  RUU bidang politik yang mencakup RUU Parpol, RUU Pemilu Legislatif, RUU Pilpres dan RUU Susduk. Tak ayal pembahasan demi pembahasan di DPR tentang persoalan-persoalan krusiil tersebut  mendapat perhatian dari masyarakat dan insan pers. Sedangkan yang kedua adalah problem politik itu sendiri, dimana pendeklarasian calon presiden dalam pemilu 2009 adalah pemicunya. Sebut saja misalnya Megawati telah menyatakan siap sebagai capres, disusul Bang Yos yang juga sudah siap tempur. Serta yang tidak kalah serunya adalah analisis berbagai pengamat tentang masa depan kepemimpinan SBY –JK, masihkah bersama-sama ataukah akan sendiri-sendiri.


Namun demikian hiruk-pikuk persoalan  demokrasi, hukum dan politik ini bagi kebanyakan masyarakat, terutama masyarakat bawah, seakan-akan tidak bersambut. Mengapa? Sebab mereka saat ini masih tetap saja didera berbagai persoalan sehari-hari yang terasa kian melilit, seperti pengangguran, kriminalitas, mahalnya harga minyak goreng, sulitnya minyak tanah dan aneka kesulitan hidup sehari-hari. Sehingga sangat wajar apabila tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga public menurun terutama terhadap  Parpol, lembaga legislative, dan institusi pemilu. Toh tidak pernah ada perubahan yang cukup signifikan sebelum dan setelah ada pemilu, demikian argumentasi yang paling sederhana.

Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja dan tidak diantisipasi secara bijak, minimal ada 2 kerugian yang akan dirasakan dalam proses pembangunan demokrasi ke depan. Pertama sudah barang tentu tingkat  partisipasi masyakat akan menurun, sekaligus akan menaikkan angka golput. Golput memang bukan hal yang dilarang, karena pada prinsipnya memilih adalah hak setiap warga yang memenuhi syarat.  Jadi tidak memilihpun tentu juga merupakan hak, apalagi jika dengan pertimbangan yang rasional misalnya tidak ada calon yang layak diberi mandat. dll. Namun demikian karena hasil-hasil pemilu adalah bersifat public, maka setiap warga Negara baik yang memilih maupun yang tidak wajib taat pada hasil-hasil tersebut. Namun demikian jika angka golput dalam pemilu sangat tinggi, sudah pasti akan menurunkan kuallitas pemilu. Sebab menurut Dahl, kualitas pemilu sangat dipengaruhi oleh seberapa besar warga berpartisipasi dalam pemilu tersebut.

Sedangkan kerugian yang kedua adalah, kekhawatiran apabila sikap apatis masyarakat tersebut dapat dimanfaat oleh pihak tertentu untuk menjual suaranya supaya mengikuti kepentingan politik tertentu. Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan dan fakta mengingat kemiskinan adalah ladang paling subur untuk menanam benih-benih jahat money politic.

Jurus ampuh : Pendidikan Pemilih
Pendidikan pemilih sebetulnya merupakan upaya terus-menerus untuk menciptakan  para pemilih yang mampu berpikir secara rasional, yaitu pemilih yang mengerti arti pentingnya pemilu, hakikat demokrasi, konsekuensi sebuah pilihan sekalipun hanya 1 suara, dll. Dalam hal ini kesadaran memilih masyarakat harus berubah dari kesadaran memilih yang bersifat emosional kepada kesadaran memilih yang bersifat kritis. Memilih seseorang karena alasan bertetangga, karena hubungan keluarga, kesamaan aliran keagamaan, apalagi pemberian uang, tapi melupakan track record, kapabilitas, empati pada yang lemah dll harus perlahan mulai ditinggalkan.

Pemilih yang mempunyai kesadaran kritis dalam hal ini akan selalu mengarahkan pilihannya pada para calon yang mempunyai track record yang baik serta yang lebih mempunyai kapabilitas sekalipun tidak ada hubugan saudara maupun tetangga misalnya. Calon pemimpin yang baik dan berkualitas juga tidak tergantung pada partai tertentu. Sebab disetiap partai  biasanya ada  calon yang baik namun ada juga yang mempunyai track record tidak baik.

Kita bisa membayangkan apabila yang dipilih oleh masyarakat adalah orang-orang yang bermoral baik, mempunyai kapabilitas yang cukup mumpuni dan semua peduli pada yang lemah, maka kita akan mempunyai para anggota DPR-DPRD yang bermoral dan berkualitas, juga tentu saja memiliki Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah yang mumpuni. Jika hal ini terjadi barulah kita dapat berharap akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap  kehidupan berbangsa dan bernegara maupun perubahan ekonomi dan social yang lebih baik pasca hinggar-bingarnya Pemilu selesai. Dan apabila kesadaran kritis di tingkat masyarakat tersebut belum terbentuk secara baik, rupanya perlu ditunda dulu harapan-harapan yang terlalu besar itu.

Pemilih Pemula Adalah Harapan.
Mengharapkan terjadinya perubahan kesadaran memilih bagi 161,4 juta calon pemilih dalam pemilu 2009 (sumber kantor statistic) dalam waktu 2 tahun tentu merupakan hal yang sulit. Apalagi sebagian besar pemilih tersebut adalah pemilih tradisional yang cenderung emosional, rata-rata meraka sudah mempunyai pilihan yang bersifat permanent atau  semi permanent, sehingga sangat sulit diadakan perubahan. 

Namun demikian tetap ada satu segment pemilih yang dapat menjadi harapan untuk perubahan yaitu adalah pemilih pemula. Tentu saja apabila  segment ini digarap dan dididik secara terstruktur. Pemilih pemula ini sangat potensial karena beberapa alasan sebagi berikut: pertama , diprediksi  berjumlah cukup besar dalam Pemilu 2009 yaitu sebesar  7 juta jiwa. Kedua, berusia muda dan berpendidikan cukup baik yaitu rata-rata SMA  atau  kuliah semester awal. Ketiga, belum terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik atau terlibat politik praktis. Keempat  sebagian besar masih idealis sehingga akan mudah menerima hal-hal yang bersifat positif.

Jangan biarkan harapan besar tersebut pupus, oleh karenanya semua pihak yang dapat memberikan peran positif terhadap terselenggaranya pendidikan pemilih, khususnya pemilih pemula diharapkan untuk  dapat mengambil peran.  Seperti Pemerintah dengan pendidikan SMA-nya. KPU-KPUD dengan sosialisasi dan informasi pemilunya, Perguruan Tinggi, NGO dan tentu juga Partai Politik dengan pendidikan politiknya. (spd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.