Sepanjang
tahun 2007 yang lalu, Departemen Dalam Negeri
mengumumkan telah membatalkan 100 Peraturan Daerah yang dinilai
melanggar peraturan di atasnya. Sebagian besar Perda yang dibatalkan tersebut adalah Perda yang berkaitan dengan retribusi
dan pajak daerah. Dengan demikian sejak tahun 2002 hingga tahun 2007 yang lalu,
Depdagri telah membatalkan 694 Perda dari ribuan Perda yang sedang dalam proses
dievaluasi.
Terlepas
dari substansi Perda-perda ini, yang konon memang cenderung tidak pro rakyat, tindakan
Depdagri mengevaluasi dan membatalkan Perda ini perlu dipertanyakan kewenangannya
secara hukum. Sebab secara substanstif apa yang dilakukan Depdagri ini telah
melaksanakan kegiatan “judicial review”
terhadap aturan perundang-undangan. Dengan demikian Depdagri
dalam hal ini telah memposisikan diri
seolah-olah sebagai lembaga pengadil yang mempunyai kewenangan
memutuskan benar atau salahnya sutu perkara, yaitu suatu kewenangan yang
mestinya hanya dimiliki oleh para hakim.
Asas legalitas dalam Negara hukum
Asas
legaliatas selalu berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan Negara hukum. Gagasan
demokrasi selalu menuntut agar setiap
bentuk peraturan perundang-undangan yang
lahir harus mendapat persetujuan dari wakil rakyat. Sedangkan dalam Negara hukum
menuntut agar semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kenegaraan harus
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Dalam
hal ini salah satu asas terpenting dalam asas legalitas adalah selalu
menghendaki agar apa saja tindakan dari
badan atau pejabat tata usaha negara harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Sebab tanpa berdasarkan peraturan perundang-undangan para pejabat tata usaha Negara ataupun badan
tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan yang dapat mengubah keadaan hukum
warga masyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan tindakan Depdagri yang telah
membatalkan Perda, maka yang perlu dipertanyakan adalah atas dasar undang-undang apa tindakan tersebut
dilakukan? jika tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan maka, pada dasarnya dapatlah dikatakan bahwa tindakan tersebut
tidak sah secara hukum.
Hierarkis peraturan perundang-undangan
Secara
khusus, hierarkis peraturan perundang-undangan sudah dijelaskan dalam
Undang-undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam pasal 7 dijelaskan (1). Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan
Daerah. Sedangkan dalam ayat (2)
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi a. Peraturan Daerah Provinsi; b. Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota; c. Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat. Sedangkan
dalam ayat (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
adalah sesuai dengan hierarkis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari
beberapa keterangan di atas ada beberapa poin penting yang perlu dicatat yaitu pertama peraturan perundang-undangan
telah tersusun secara heirarkis sehingga aturan yang ada dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan yang ada di atasnya.
Hal inilah sebetulnya yang merupakan alat
penting untuk melakukan judical
review. Kedua dalam hierakis
tersebut tidak tercantum tentang peraturan
menteri. Sehingga peraturan menteri tidak dapat diakui keberadaannya sepanjang
tidak diperintahkan untuk dibuat oleh
peraturan di atasnya.
Mestinya judicial review
Sebetulnya
konstitusi telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan judicial review ini. Ada 2 jenis prosedur yang
harus ditempuh apabila kita ingin melakukan judicial review. Pertama adalah judicial
review atau uji materiil untuk
mengetahui konsistensi Undang-undang dengan Undang-undang Dasar melalui
Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini sesuai dengan
UUD 1945 pasal 24.C. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, . Sedangkan
judicial review terhadap semua peraturan
perundang di bawah Undang-Undang melalui Mahkamah Agung, sesuai dengan
ketentuan UUD 1995 pasal 24 A. Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan mempunyai kewenangan lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
Berdasarkan
beberapa keterangan dan argumentasi dia
atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pembatalan 100 perda oleh Depdagri
sepanjang tahun 2007 atau 694 Perda sejak tahun 2002 sangat tidak tepat,
hal ini disebabkan karena pertama,
berdasarkan asas legalitas Depdagri tidak punya kewenangan untuk melakukan uji
materiil. Sedangkan yang kedua, judicial review untuk peraturan dibawah Undang-undang adalah
kewenangan Mahkamah Agung, sehingga Mahkamah Agunglah mestinya yang berhak
untuk membatalkan Perda.
Preventif lebih baik.
Sekalipun
secara hukum pembatalan Perda oleh Depdagri tidak tepat karena Mahkamah Agunlah yang mempunyai kewenangan.
Namun tentu kita dapat membayangkan betapa berat tugas MA dan sekaligus tidak efektif apabila
harus setiap saat memutus perkada Perda bermasalah yang jumlahnya ribuan
buah. Oleh karenanya pengajuan judicial
review Perda bermasalah haruslah dijadikan upaya terakhir jika upaya-upaya yang lain sudah dilakukan. Dalam hal ini, upaya lain yang lebih efektif
sebetulnya adalah upaya preventif.
Upaya
preventif ini sebetulnya merupakan
salah satu jenis pengawasan
terhadap produk hukum sebelum disahkan
atau berlaku sehingga mempunyai akibat hukum. Perda di tingkat kabupaten
misalnya sebelum disahkan dan berakibat hukum, perlu mendapat persetujuan dari badan
di atasnya atau di tingkat Provinsi. Dengan demikian pemerintah yang lebih
tinggi dapat mencegah dan mengurangi tingkat kesalahan, ataupun kecerobohan
baik itu yang berkaitan dengan substansinya misalnya merugikan kepentingan
umum, maupun berkaitan dengan kajian hierakisnya atau singkronisasinya dengan
aturan perundangan yang lebih tinggi.
Tindakan
ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya Perda-perda yang dianggap
bermasalah. Jika hal ini tidak dilakukan
dan perda yang sudah disahkan sudah berlaku dan berakibat hukum, maka
jalan yang paling tepat menurut kami adalah melakukan judicial review ke MA bukan membatalkan begitu saja oleh Depdagri. (spd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.