Senin, 11 Juni 2012

RUU PILKADA

Mana Yang lebih Baik? ,  
Demokrasi Langsung atau Tidak Langsung
dalam PILKADA  Gubernur.
Oleh : Sapardiyono



Kompas tanggal  7 Juni kembali memberitakan tentang dengar pendapat antara Mendagri dan Komisi II DPR, Soal Pilkada Gubernur Tidak langsung. Rapat lanjutan direncanakan nanti tanggal 13 Juni 2012. RUU Pemilu Kepala Daerah tersebut  sebetulnya sudah masuk dalam Prolegnas tahun 2011 namun gagal diselesaikan dan dilanjutkan tahun ini.  Materi usulan yang sangat serius ini “nyaris tak terdengar” tenggelam oleh hiruk pikuknya pemberitaan kasus korupsi yang tidak kunjung reda, bahkan seolah seperti bola salju yang menggelinding terus membesar. Padahal usulan pemerintah tersebut lumayan serius mengingat berpotensi menyurutkan pembangunan  demokrasi di Indonesia karena bermaksud mengurangi peran rakyat dalam menentukan pemimpinnya.


Ada beberapa argumen yang mendasari mengapa pemilihan gubernur dan wakil gubernur akan dikembalikan seperti halnya era Orba dan dan awal masa reformasi, yaitu pertama : biaya pemilihan Gubernur sangat mahal, biaya ini tidak hanya dihitung seberapa besar Pemda mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan Pemilu Gubernur tapi juga termasuk biaya para pasangan calon dalam mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu. Biaya  besar yang dikeluarkan para pasangan calon ini dikawatirkan berpotensi negatif pada saat memimpin nanti, yaitu cenderung berusaha mengembalikan “modal biaya kampanye”  apabila pasangan tersebut menang dalam pemilu Gubernur. Kedua, argumen bahwa selain sebagai kepala daerah, Gubernur juga merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah dan argumen yang ketiga adalah, posisi otonomi yang diletakkan di kabupaten/kota bukan di provinsi. Akibatnya gubernur mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. “Kalau kewenangan Gubernur sangat terbatas, mengapa harus dipilih dengan biaya yang sangat mahal?”, demikian beberapa argumen yang sering disampaikan. Dari sekian banyak argumen tersebut argumen pertama yaitu biaya yang mahal lah yang paling dominan disampaikan ke publik.

Berbagai kelemahan Pemilihan Gubernur oleh DPRD.
Selain dinilai setback, pemilihan gubernur oleh DPRD dinilai mengandung berbagai kelemahan yang mendasar sebagai berikut, pertama : Indonesia segara akan menerapkan dualisme dalam sistem pemerintahan, yaitu menerapkan sistem presidensiil yang dibuktikan dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat untuk presiden, bupati dan walikota, sekaligus menerapkan sistem parlementer dalam memilih gubernur. Inkonsistensi ini tentu akan berakibat buruk terhadap rusaknya tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bupati dan walikota yang dipilih secara langsung oleh rakyat misalnya akan merasa lebih kuat dari gubernur yang tidak dipilih secara langsung, padahal bupati dan wailkota tetap saja mempunyai hubungan yang bersifat hierarkis dengan gubernur.

Kelemahan yang kedua, adalah akibat dari penerapan dari sistem parlementer tersebut maka posisi gubernur dan DPRD provinsi bukanlah dua lembaga yang equal sehingga sulit diharapkan adanya ceks and balances. Gubernur dalam menyusun kebijakan, program dan anggaran misalnya akan lebih tunduk pada kemauan dari para anggota DPRD dari pada kehendak atau masukan dari masyarakat langsung. Dengan kata lain gubernur akan lebih meletakkan akuntabilitasnya pada anggota dewan ketimbang pada rakyat.

Sedangkan kelemahan yang ketiga adalah hilangnya peluang dari calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam pemilihan gubernur. Padahal Putusan MK telah mengabulkan permohonan calon perseorangan dalam Pemilukada yang selanjutnya juga telah diakomodir dalam UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004. Dan andaikan DPRD juga tetap akan membuka untuk calon perseorangan, maka hampir pasti tidak mungkin bisa terpilih karena semua anggota DPRD adalah adalah anggota Partai poilitik yang juga harus tunduk pada kebijakan partai. Ini belum bicara soal teknis, calon perseorangan tersebut harus didukung seberapa persen rakyat sebagai syarat. Intinya pintu bagi calon perseorangan sudah pasti hampir tetutup sekalipun dijamin haknya oleh UUD 1945 Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Perbaiki Kelemahannya.


Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilihan Gubernur secara langsung juga mempunyai berbagai kelemahan yang harus diperbaiki. Biaya yang mahal adalah pangkal persoalannya. Selain biaya yang harus dikeluarkan Pemda untuk  pelaksanaannya, biaya para calon untuk pemenangan juga dinilai sangat tinggi. Namun demikian kritik terhadap mahalnya biaya ini sangat bisa diperdebatkan. Hampir 50 % dari biaya penyelenggaraan Pemilukada adalah untuk kegiatan operasioanl KPPS di TPS. Sebagai contoh misalnya suatu provinsi yang mempunyai 4 juta pemilih maka akan dibentuk kurang lebih 10.000 TPS (400-an pemilih tiap TPS), maka akan dibutuhkan personil sejumlah 90.000 orang (7 petugas KPPS dan 2 orang Linmas). Apakah arti dari angka angka tersebut? Pemilukada tidak dapat dikatakan sebagai pemborosan uang negara, tapi justru pemerataan uang APBD kepada rakyat. Rakyatlah yang menikmati hampir 50% biaya Pemilukada, yaitu sejumlah 90.000 orang, itupun baru petugas KPPS belum dihitung berapa petugas PPS di setiap desa/kelurahan dan petugas PPK di setiap kecamatan. Dan kalau mau jujur sebetulnya hampir semua petugas Pemilukada tersebut adalah orang-orang yang kurang memperoleh akses terhadap APBD secara langsung selama ini, jadi mengapa dikatakan pemborosan, dan tidak justru dianggap sebagai pemerataan?.

Demikian pula maraknya praktek money politic yang membuat biaya para calon sangat besar juga  tidak serta merta dapat dihindari dengan pemilihan oleh DPRD. Money politic dapat saja terjadi dengan mekanisme apapun, harganyapun belum tentu lebih murah. Kita masih ingat kasus pemilihan deputi gubernur BI yang akhirnya menyeret banyak politisi di DPR adalah contoh konkrit bahwa money politik dapat terjadi dengan sistem apapun. Justru sebetulnya latar belakang digantinya UU No 22/1999  yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pemilihan langsung oleh rakyat sebetulnya untuk mengurangi praktek money politik. Pendek kata mustahil bisa menyuap seluruh anggota masyarakat untuk menjatuhkan pilihannya, dan tentu saja sebaliknya akan jauh lebih mudah mempengaruhi para anggota DPRD yang jumlahnya amat sedikit. Apalagi para anggota DPRD tersebut telah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit pada saat kampanye Pemilu legislatif yang lalu. Intinya biaya yang akan dikeluarkan para calon belum tentu lebih murah jika pemilihan Gubernur melalui DPRD.

Sedangkan argumen bahwa gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat, kewenangannya terbatas dan otonomi ada di tingkat kabupaten/kota, sebetulnya juga masih bisa diperdebatkan.  Hal ini disebabkan karena sesungguhnya UU 32/2004 justru mempersempit ruang Gubernur, dan kurang singkron dengan  dengan UUD 1945. Dalam pasal 18 (2) disebutkan : Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Jadi berdasarkan ayat tersebut pemerintah daerah provinsi juga merupakan daerah otonom. Oleh karenanya apabila dikatakan bahwa otonomi ada di kabupaten/kota bukan di provinsi adalah pernyataan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya perlu direvisi dan diselaraskan dengan aturan yang lebih tinggi. Jadi mestinya revisi UU 32/ 2004 juga diarahkan untuk memperkuat fungsi pemerintah provinsi seperti apa yang sudah dijaminkan oleh Konstitusi bukan sebaliknya justru memperlemah.

Pemilukada Serentak.
Bagaimanapun juga pelaksanaan Pemilukada selama ini juga harus dievaluasi sekaligus diperbaiki pelaksanaannya. Selain persoalan mahalnya biaya, money politik, tingkat partisipasi yang cenderung turun juga seringnya muncul gugatan-gugatan yang berkepanjangan. Oleh karenanya ide untuk melaksanakan Pemilu secara serentak yang sempat tenggelam perlu  diangkat dan dikaji ulang. Hanya ada 2 kali Pemilu misalnya, yaitu Pemilu Legialatif dan Pemilu Eksekutif yang meliputi Presiden, gubernur dan bupati/waikota. Jika hal ini bisa dilaksanakan maka akan menjawab secara efektif banyak persoalan yaitu penghematan biaya pelaksanaan Pemilu di semua tingkatan, mengurangi money poilitik, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Ide ini tentu cukup sulit untuk dilaksanakan mengingat berakhirnya masa jabatan Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota tidak sama. Butuh keberanian dan ketegasan pemerintah jika keputusan ini akan diambil.

Ide lain yang relatif lebih moderat adalah menyelenggarakan Pemilu Gubernur secara serentak dengan Pemilu Bupati/Walikota dalam provinsi yang bersangkutan. Dengan cara ini sudah barang tentu akan terjadi penghematan  biaya yang sangat signifikan, namun demikian juga masih ada kendala kaitanya masa jabatan yang tidak sama baik itu antar bupati/walikota dan gubernur, sehingga memang juga diperlukan keberanian dari pemerintah pusat untuk membuat masa transisi sehingga dapat dilakukan secara serentak. Manakah diantara sekian banyak alternatif mekanisme ini yang akan dipilih oleh DPR?. Kita tetap berharap yang terbaik. Semoga.


[1] Sapardiyono.S.Hut.MH. adalah anggota KPU Provinsi DIY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.