Mana Yang lebih Baik? ,
Demokrasi Langsung atau Tidak Langsung
Demokrasi Langsung atau Tidak Langsung
dalam PILKADA Gubernur.
Oleh
: Sapardiyono
Kompas
tanggal 7 Juni kembali memberitakan tentang
dengar pendapat antara Mendagri dan Komisi II DPR, Soal Pilkada Gubernur Tidak
langsung. Rapat lanjutan direncanakan nanti tanggal 13 Juni 2012. RUU Pemilu
Kepala Daerah tersebut sebetulnya sudah masuk
dalam Prolegnas tahun 2011 namun gagal diselesaikan dan dilanjutkan tahun ini. Materi usulan yang sangat serius ini “nyaris
tak terdengar” tenggelam oleh hiruk pikuknya pemberitaan kasus korupsi yang tidak
kunjung reda, bahkan seolah seperti bola salju yang menggelinding terus
membesar. Padahal usulan pemerintah tersebut lumayan serius mengingat
berpotensi menyurutkan pembangunan
demokrasi di Indonesia karena bermaksud mengurangi peran rakyat dalam
menentukan pemimpinnya.
Ada
beberapa argumen yang mendasari mengapa pemilihan gubernur dan wakil gubernur
akan dikembalikan seperti halnya era Orba dan dan awal masa reformasi, yaitu pertama : biaya pemilihan Gubernur
sangat mahal, biaya ini tidak hanya dihitung seberapa besar Pemda mengeluarkan
uang untuk menyelenggarakan Pemilu Gubernur tapi juga termasuk biaya para
pasangan calon dalam mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu. Biaya besar yang dikeluarkan para pasangan calon
ini dikawatirkan berpotensi negatif pada saat memimpin nanti, yaitu cenderung
berusaha mengembalikan “modal biaya kampanye”
apabila pasangan tersebut menang dalam pemilu Gubernur. Kedua, argumen bahwa selain sebagai
kepala daerah, Gubernur juga merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah
dan argumen yang ketiga adalah,
posisi otonomi yang diletakkan di kabupaten/kota bukan di provinsi. Akibatnya
gubernur mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. “Kalau kewenangan Gubernur sangat
terbatas, mengapa harus dipilih dengan biaya yang sangat mahal?”, demikian
beberapa argumen yang sering disampaikan. Dari sekian banyak argumen tersebut
argumen pertama yaitu biaya yang mahal lah yang paling dominan disampaikan ke
publik.
Berbagai kelemahan Pemilihan Gubernur oleh DPRD.
Selain dinilai setback, pemilihan gubernur oleh DPRD
dinilai mengandung berbagai kelemahan yang mendasar sebagai berikut, pertama : Indonesia segara akan
menerapkan dualisme dalam sistem pemerintahan, yaitu menerapkan sistem
presidensiil yang dibuktikan dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat untuk
presiden, bupati dan walikota, sekaligus menerapkan sistem parlementer dalam
memilih gubernur. Inkonsistensi ini tentu akan berakibat buruk terhadap
rusaknya tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bupati dan walikota yang
dipilih secara langsung oleh rakyat misalnya akan merasa lebih kuat dari
gubernur yang tidak dipilih secara langsung, padahal bupati dan wailkota tetap
saja mempunyai hubungan yang bersifat hierarkis dengan gubernur.
Kelemahan yang kedua, adalah akibat dari penerapan dari
sistem parlementer tersebut maka posisi gubernur dan DPRD provinsi bukanlah dua
lembaga yang equal sehingga sulit
diharapkan adanya ceks and balances.
Gubernur dalam menyusun kebijakan, program dan anggaran misalnya akan lebih
tunduk pada kemauan dari para anggota DPRD dari pada kehendak atau masukan dari
masyarakat langsung. Dengan kata lain gubernur akan lebih
meletakkan akuntabilitasnya pada anggota dewan ketimbang pada rakyat.
Sedangkan kelemahan
yang ketiga adalah hilangnya peluang
dari calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam pemilihan gubernur. Padahal
Putusan MK telah mengabulkan permohonan calon perseorangan dalam Pemilukada
yang selanjutnya juga telah diakomodir dalam UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004. Dan andaikan DPRD
juga tetap akan membuka untuk calon perseorangan, maka hampir pasti tidak
mungkin bisa terpilih karena semua anggota DPRD adalah adalah anggota Partai
poilitik yang juga harus tunduk pada kebijakan partai. Ini belum bicara soal
teknis, calon perseorangan tersebut harus didukung seberapa persen rakyat
sebagai syarat. Intinya pintu bagi calon perseorangan sudah pasti hampir
tetutup sekalipun dijamin haknya oleh UUD 1945 Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
Perbaiki Kelemahannya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pemilihan Gubernur secara langsung juga mempunyai
berbagai kelemahan yang harus diperbaiki. Biaya yang mahal adalah pangkal
persoalannya. Selain biaya yang harus dikeluarkan Pemda untuk pelaksanaannya, biaya para calon untuk
pemenangan juga dinilai sangat tinggi. Namun demikian kritik terhadap mahalnya
biaya ini sangat bisa diperdebatkan. Hampir 50 % dari biaya penyelenggaraan
Pemilukada adalah untuk kegiatan operasioanl KPPS di TPS. Sebagai contoh
misalnya suatu provinsi yang mempunyai 4 juta pemilih maka akan dibentuk kurang
lebih 10.000 TPS (400-an pemilih tiap TPS), maka akan dibutuhkan personil
sejumlah 90.000 orang (7 petugas KPPS dan 2 orang Linmas). Apakah arti dari
angka angka tersebut? Pemilukada tidak dapat dikatakan sebagai pemborosan uang
negara, tapi justru pemerataan uang APBD kepada rakyat. Rakyatlah yang
menikmati hampir 50% biaya Pemilukada, yaitu sejumlah 90.000 orang, itupun baru
petugas KPPS belum dihitung berapa petugas PPS di setiap desa/kelurahan dan
petugas PPK di setiap kecamatan. Dan kalau mau jujur sebetulnya hampir semua
petugas Pemilukada tersebut adalah orang-orang yang kurang memperoleh akses terhadap
APBD secara langsung selama ini, jadi mengapa dikatakan pemborosan, dan tidak
justru dianggap sebagai pemerataan?.
Demikian
pula maraknya praktek money politic yang membuat biaya para calon sangat besar
juga tidak serta merta dapat dihindari
dengan pemilihan oleh DPRD. Money politic dapat saja terjadi dengan mekanisme
apapun, harganyapun belum tentu lebih murah. Kita masih ingat kasus pemilihan
deputi gubernur BI yang akhirnya menyeret banyak politisi di DPR adalah contoh
konkrit bahwa money politik dapat terjadi dengan sistem apapun. Justru
sebetulnya latar belakang digantinya UU No 22/1999 yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh
DPRD dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pemilihan
langsung oleh rakyat sebetulnya untuk mengurangi praktek money politik. Pendek
kata mustahil bisa menyuap seluruh anggota masyarakat untuk menjatuhkan
pilihannya, dan tentu saja sebaliknya akan jauh lebih mudah mempengaruhi para
anggota DPRD yang jumlahnya amat sedikit. Apalagi para anggota DPRD tersebut telah
mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit pada saat kampanye Pemilu legislatif
yang lalu. Intinya biaya yang akan dikeluarkan para calon belum tentu lebih
murah jika pemilihan Gubernur melalui DPRD.
Sedangkan
argumen bahwa gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat, kewenangannya
terbatas dan otonomi ada di tingkat kabupaten/kota, sebetulnya juga masih bisa
diperdebatkan. Hal ini disebabkan karena
sesungguhnya UU 32/2004 justru mempersempit ruang Gubernur, dan kurang singkron
dengan dengan UUD 1945. Dalam pasal 18
(2) disebutkan : Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Jadi berdasarkan ayat tersebut pemerintah daerah provinsi juga
merupakan daerah otonom. Oleh karenanya apabila dikatakan bahwa otonomi ada di
kabupaten/kota bukan di provinsi adalah pernyataan yang bertentangan dengan UUD
1945 dan oleh karenanya perlu direvisi dan diselaraskan dengan aturan yang
lebih tinggi. Jadi mestinya revisi UU 32/ 2004 juga diarahkan untuk memperkuat
fungsi pemerintah provinsi seperti apa yang sudah dijaminkan oleh Konstitusi
bukan sebaliknya justru memperlemah.
Pemilukada Serentak.
Bagaimanapun
juga pelaksanaan Pemilukada selama ini juga harus dievaluasi sekaligus
diperbaiki pelaksanaannya. Selain persoalan mahalnya biaya, money politik,
tingkat partisipasi yang cenderung turun juga seringnya muncul gugatan-gugatan
yang berkepanjangan. Oleh karenanya ide untuk melaksanakan Pemilu secara
serentak yang sempat tenggelam perlu
diangkat dan dikaji ulang. Hanya ada 2 kali Pemilu misalnya, yaitu
Pemilu Legialatif dan Pemilu Eksekutif yang meliputi Presiden, gubernur dan
bupati/waikota. Jika hal ini bisa dilaksanakan maka akan menjawab secara
efektif banyak persoalan yaitu penghematan biaya pelaksanaan Pemilu di semua
tingkatan, mengurangi money poilitik, dan meningkatkan partisipasi masyarakat.
Ide ini tentu cukup sulit untuk dilaksanakan mengingat berakhirnya masa jabatan
Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota tidak sama. Butuh keberanian dan
ketegasan pemerintah jika keputusan ini akan diambil.
Ide
lain yang relatif lebih moderat adalah menyelenggarakan Pemilu Gubernur secara
serentak dengan Pemilu Bupati/Walikota dalam provinsi yang bersangkutan. Dengan
cara ini sudah barang tentu akan terjadi penghematan biaya yang sangat signifikan, namun demikian
juga masih ada kendala kaitanya masa jabatan yang tidak sama baik itu antar
bupati/walikota dan gubernur, sehingga memang juga diperlukan keberanian dari pemerintah
pusat untuk membuat masa transisi sehingga dapat dilakukan secara serentak.
Manakah diantara sekian banyak alternatif mekanisme ini yang akan dipilih oleh
DPR?. Kita tetap berharap yang terbaik. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.