Siang itu Rumah Makan Ny Suharti di daerah Babarsari Jogja agak berbeda suasananya. Terutama di lantai 2 berkumpul banyak sekali orang, para tokoh tersebut hampir semuanya pernah mengenyam pendidikan atau tepatnya kuliah di Kota Gudeg ini. Namun siang itu bukan Gudeg makanan khas Jogja yang dihidangkan, namun salah satu jenis masakan khas Jogja yang lain yang juga sudah sangat kondang, “Ayam Goreng Suharti”.
Adalah Profesor Dr.Edi Suandi Hamid, yang menjadi moderator dalam acara itu, duduk disampingya beberapa profesor yang lain seperti : Profesor Dr. Mahfud MD, Profesor Dr. Agus Salim Sitompul, Prof .Dr. Rahmad Wahab, Prof. Dr. Jawahir Tantowi, Prof. Dr. Refrisond Baswier. Prof.Dr.Ir. San Afri Awang, Prof. Dr.Chumaidi Syarif Romas, Prof.Dr.Chairil Anwar, Dr.SF Marbun, Dr.Suparman Marzuki, Dr.Salman Luthan, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kalangan wartawan juga terlihat cukup banyak dan tentu saja juga para mahasiswa. Mereka berkumpul salah satunya membicarkan hal-hal yang terkait dengan bangsa, kebangasaan, nasionalisme dan masa depan Indonesia.
Prof. Chumaidi mengawali pembicaraan : mari kita semua bertobat, karena secara langsung atau tidak langsung kita telah melakukan dosa sosial, kita juga sudah ikut serta melahirkan generasi yang menjadi pemuja kapitalisme, serta lahirnya banyak koruptor di negeri kita. Mumpung ini masih di bulan Syawal, ayo… ajaknya penuh semangat. Menyelamatkan negara itu penting, kita bersihkan hati kita dan kita buktikan.
Hal senada juga disampaikan Pak Mahfud, Nasionalisme bangsa Indonesia saat ini mulai luntur, jika tidak hati-hati dan ada perbaikan secara cepat, Indonesia Bisa bernasib seperti Kerajaan Majapahit yang besar ataupun Kerajaan Demak yangkeduanya hancur tinggal kenangan dalam sejarah. Berbagai kerajaan di Indonesia hancur bukan karena sebab dari luar, tapi sebab dari dalam dan berkaitan dengan manajemen negara.
Masih menurut Pak Mahfud basis nasionalisme saat ini bukan dibangun dengan senjata atau fisik seperti zaman dulu lagi. Tapi pemerintah harus membangun sistem pemberantasan kemiskinan dan keadilan. Struktur ekonomi yang tidak adil dan tercederainya rasa keadilan masyarakat membuat rasa nasionalisme menjadi luntur, kondisi ini sangat berbahaya.
Pak Mahfud juga mencontohkan tentang terungkapnya berbagai mega korupsi secara beruntun, menumpuk, dihukum ringan, dilupakan dan datang lagi mega korupsi yang lebih besar. Kasus Nazarudin yang amat terkenal yang melibatkan 32 jenis dugaan korupsi di berbagai kementerian yang ditaksir senilai 60 Trilyun, hanya dihukum ringankarena suap. Setelah itu datang kasus korupsi di kementerian Tenaga Kerja, nasibnyapun juga sama dilupakan, sudah datang lagi kasus Hambalang, kasus Hartati Murdaya dsb. Tidak ada kasus yang selesai sampai tuntas namun sudah dianggap selesai dan rakyatpun sudah lupa. Hal-hal inilah yang juga berperan melunturkan rasa nasionalisme kita.
Sedangkan yang berkaitan dengan dosa sosial Pak Mahfud agak berlainan pendapat, beliau beragumen tidak mudah kita melepaskan diri dari dosa sosial, karena kita semua ada di sistem itu. Oleh karenanya yang terpenting adalah , kita semua secara pribadi-pribadi berkerja secara profesional dan tidak melakukan korupsi.
Pak Hafidz Asram juga berpendapat yang sama, bangsa kita berada di titik kulminasi, usaha apapun seolah sudah menthok, semua titik sudah dirambah dan melakukan korupsi. Negara ini diujung tanduk katanya.
Prof. San Afri, lebih perpandangn positif. Bangsa ini mau hancur atau tidak sebetulnya tergantung dengan persepsi kita. Kalau kita semua sebagai bagian dari negara ini tetap optimis ya akan bertahan tapi kalau kita semua pesismis ya bisa hancur sungguhan. Caranya ? Rakyat ya harus dinyakinkan, keadilan harus ditegakkan, saat ini masalah tanah adalah salah sumber pokok juga. 68% tanah di Indonesia di kuasai oleh para pengusaha, ya rakyat dapat apa? Rakyat harus dirayu, tanah harus didistribusikan agar kembali muncul nasionalisme, intinya ya keadilan itu. Jadi kita harus optimis, Indonesia masih bisa.
Acara diakhiri dengan salam-salaman, dan halal bih halal.
Semoga para pemimpin kita ada yang mendengarkan dialog itu. Indonesia ke depan butuh pemimpin yang bisa memberantas kemiskinan, dan membagi sumber daya, ekonomi, dan kekuasaan secara adil, untuk seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Amien. (spd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.